• Home
    • About
    • Life in France
    • Contact Me
    • Faq

Le petit monde de Rezki

Pintu masuk Université de caen, kampusku tercintah :*
Tadi sore ketika nunggu adzan magrib, gue rebahan di sofa sambil mainan di Instagram dan di explorenya, gue liat postingan lucu tentang gaya mahasiswa waktu masa-masa ospek, tiba-tiba gue jadi keinget bahwa di sini, di Prancis, engga ada yang namanya ospek, terus jadi kepikiran kayanya asik juga kalau ceritain beberapa hal tentang universitas di Prancis, entah itu yang publik atau swasta, biaya kuliah, dan  durasi kuliah dll. 

Oiya, btw di Prancis engga ada skripsi, cuma mo bilang aja, muehehehe

Oke, mari kita bahas dulu  soal ospek, di Prancis, engga ada ospek kaya misalnya lo wajib pakai topi purun, rambut atau jilbab di pitain atau bahkan digundulin. Yang ada hanyalah masa “Pre-rentrée ”, jadi semua mahasiwa baru di satu jurusan diminta berkumpul di satu auditorium besar dan akan mendengarkan presentasi dari setiap dosen di setiap mata kuliah, lalu ada juga presentasi dari sekretariat jurusan yang akan menjelaskan tentang seluk-beluk perkuliahan, dari mulai gedung kampus, sistem penilaian, dll deh pokoknya tentang perkuliahan, bahkan kalaupun kita engga hadir, ya engga apa-apa. Presentasi itu cuma satu hari dan cuma sejam, udah, gitu aja. Terus kita pulang deh ke rumah, tanpa ada PR besoknya harus bawa biskuit Ade Rai atau permen bau. 

Gambar dari sini
Disini, di Prancis, senior bener-bener engga ikut campur sama sekali, semuanya di lakukan oleh pihak kampus, kekurangannya sih ya kita jadi engga tau mana senior-senior kita, “gue ya gue, elo ya elo”, bahkan sampe sekarangpun nih ya gue engga tau mana “Kaka kelas” mana “Adek kelas”, yang gue tahu hanya temen satu angkatan satu jurusan, anak jurusan lain aja gue engga tau :(

Lanjuuutttt,,,

Sama seperti di Indonesia, universitas di Prancis terbagi dua, publik dan swasta, biasanya kalau kita daftar S1 di universitas publik, engga ada tes buat masuk , sistemnya kurang lebih sama kaya SBMPTN di Indonesia, tapi di beberapa universitas swasta, ada tes masuk dan pada dasarnya biaya kuliah di semua universitas di Prancis hampir sama, iya, sama-sama mahal cuy, yang membedakan adalah kalau di universitas publik biaya kuliah di subsidi oleh pemerintah jadi lebih murah ketimbang di universitas swasta dan subsidi ini berlaku untuk semua mahasiwa tanpa terkecuali, tanpa perlu bikin surat permohonan dll. 

Berapa biaya kuliah di universitas publik? rata-rata hanya 450 euro per tahun (fyi : di Prancis, bayar kuliah itu pertahun bukan persemester), biaya ini sudah termasuk asuransi sosial selama setahun, jadi tiap kali mau berobat ke dokter atau ke rumah sakit, kita dapat penggantian biaya yang akan di transfer langsung ke akun rekening bank, mungkin kurang lebih semacam BPJS kali ya ? Eh, beda ding.

Lain cerita kalau di universitas swasta, biaya kuliah berbeda-beda tergantung kebijakan universitas itu sendiri, tapi rata-rata sih berkisar antara 1.000 – 10.000 euro per tahun, beberapa juga tergantung dari pendapatan orang tua dan tentunya lebih mahal buat mahasiswa asing, misalnya deh ambil contoh di Ecole Polytechnique, salah satu kampus ter-wow yang masuknya susah plus mahal gila, di kampus ini, di tahun pertama (semester 1 & 2) kita harus bayar 6000 euro, di tahun kedua (semester 3 & 4) kita harus bayar 13.500 euro dan tahun ketiga (semester 5 & 6) harus bayar 13.500 euro, jadi jika ditotal, tiga tahun kuliah di Ecole Polytechnique uang yang harus di keluarkan adalah 33.000 euro aka 500 juta lebih. Bukan maeeeennnn ga bisa nafas gue waktu ngekurs-in barusan.

Sampai disini, kurang lebih keliatan sama kan ya kaya universitas di Indonesia ? Tapi tetep sih ada beberapa hal yang beda, menurut sepengetahuan gue di Indonesia hanya ada kelas kecil yang siswanya berkisar 30-an mahasiwa *cmiiw), tapi kalau di Prancis ada dua jenis kelas, kelas besar (Cours magistraux) di dalam auditorium segede bioskop dan kadang lebih lede dan kelas kecil (Travaux dirigé) yang berkisar 30-an mahasiswa. Di kelas besar, semua murid satu jurusan satu angkatan yang kisaran 200-300 di kumpulin dalam satu auditorium dengan satu orang dosen yang akan ngajar, nah murid yang 200-an ini nantinya di bagi-bagi menjadi beberapa kelompok untuk mengikuti kelas kecil, kuantitasnya banyak-nya pertemuan kelas besar atau kecil berbeda-beda tergantung jurusan, ada matkul yang kelas besar dan kelas kecil sekaligus, ada juga matkul yang hanya ada dalam kelas kecil, ada juga matkul yang hanya dalam kelas besar. 
  
Ini adalah ruangan buat kelas besar di kampus gue, kita nyebutnya "Amphithéâtre" 
Di kelas besar suasananya sama kaya lagi seminar, lo pernah noton Mario Teguh Golden Ways kan? Nah kaya gitu tuh, dosen jadi sosok yang memegang kendali penuh, doi yang menerangkan terus-terusan dan mahasiswa hanya sebagai pendengar, sebaliknya, di kelas kecil, mahasiswalah yang dituntut untuk lebih aktif, di kelas kecil kita punya kesempatan untuk nanya dan diskusi sama dosen secara langsung tentang materi yang kita engga faham waktu beliau menerangkan matkul-nya di kelas besar. 
Kelas kecil, gambar ini ambil di google 
Seperti yang gue bilang di awal, di Prancis engga ada skripsi dan kuliah cuma 6 semester, di Prancis istilah yang dipakai adalah tahun pertama ( semester 1 & dan 2), tahun kedua (semester 3 & 4), dan tahun ketiga (sem 5 &6), kalau di Indonesia orang lebih sering nanya “Kamu semester berapa? ” di Prancis, orang biasanya nanya “Kamu udah tahun keberapa?”. Tapi, apakah itu artinya kuliah di Prancis cuma tiga tahun ? Oh jelas tidak manceman, kan tiap semester ada ujian dan di semester genap nilai kita akan ditotal, jika ternyata nilai kita kurang (banget) dibawah angka minimal kelulusan, dan juri memutuskan kita “Ajournee”, itu artinya kita, mau engga mau harus ngulang tahun yang artinya harus ngulang dua semester itu, jadi walaupun di sini cuma ada 6 semester, tapi banyak kok mahasiswa yang akhirnya ngulang tahun jadi kuliahnya lebih dari 3 tahun.

Hal lainnya, kalau di Indonesia absen itu penting, di Prancis, tertutama di universitas publik, absen bukanlah hal yang penting, bahkan kalau lo engga masuk kuliah selama sebulanpun, lo akan masih bisa ikut ujian, bahkan di sini banyak mata kuliah yang engga di absen lho, makanya kesadaran untuk masuk kelas itu bener-bener harus datang dari mahasiwanya sendiri, kalau engga, ya siap-siap deh tenggelam pas ujian dan akhirnya ngulang tahun, apakah kalau kita banyak absen kita akan di DO? Wowww tentu tidak, percaya deh, absen itu bukan hal yang penting banget !!

Apalagi yah yang kurang ? Nanti kalau ada hal baru yang kepikiran, gue akan update lagi postingan ini, dan nanti di post lain gue bakal bahas tentang karakteristik mahassiswa di Prancis, adakah dari kalian yang penasaran? Muehehehehe
Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar

Kemarin adalah hari terakhir ujian semester ganjil, sekarang gue cuma tinggal nunggu hasil dan nikmatin liburan musim dingin dengan leyeh-leyeh manja dirumah, rasanya tuh kaya nahan pipis dan akhirnya ketemu toilet, lega, makanya sekarang gue bisa nulis postingan ini, hahahahaha *basi banget alasannya.

Ternyata oh terhyata, gue sudah lama enggak nulis di blog, selama beberapa minggu belakangan ini gue nyoba untuk fokus sepenuhnya sama perkuliahan, setiap kali punya ide tulisan yang gue lakukan cuma bikin kerangka seadanya, lalu balik lagi mikirin kuliah. Ini alasan basi banget emang,,,

Ujian yang baru aja selesai kemaren adalah ujian tengah semester di bulan desember, dan tentunya sekarang lagi musim dingin, dan julian di musim dingin sungguh aduhai gila, (Fyi : musim dingin dari bulan desember – febuari), di negara tropis seperti di Indonesia, waktu terbit dan terbenamnya matahari kurang lebih selalu sama tiap tahun, langit mulai terang jam 6 pagi dan mulai gelap jam 6 sore, tapi lain cerita kalau di negara yang punya banyak musim.

 
Musim dingin tapi enggak ada salju, kalau di kota lain ada  tapi di Caen, udah dari beberapa tahun belakangan ini salju enggak ada lagi, sedih ya :(

Foto ini gue ambil kemaren, yang sebelah kiri waktu lagi di halte nunggu tramway jam 8.18 pagi, dan yang sebelah kanan adalah kampus gue jam 8.28 pagi, masih gelap banget kan walaupun udah jam 8 pagi. 

Di Prancis, kalau musim dingin, durasi malam akan jadi lebih panjang dan kalau musim panas, siang yang akan jadi lebih panjang. Waktu terbit dan terbenam matahir berubah-ubah tergantung musim, misalnya kalau musim dingin adzan subuh sekitar jam 08.00, yang artinya jam 08.00 pagi, langit masih gelap gulita, sedangkan, kalau musim panas adzan subuh sudah berkumandang jam 04.00 yang artinya jam 05.00 pagi, langit sudah hampir terang benderang.

Terus apa hubungannya sama kuliah ?

Jadi gini, walaupun waktu terbit dan terbenamnya matahari berseger, jam kuliah enggak pernah bergeser, entah itu di musim panas ataupun dingin, kalau lo dapet kelas yang di jam 8 pagi, berarti dari musim panas sampai nanti musim dingin, lo akan selalu masuk di jam itu, kalau musim panas oke lah ya, jam 6 pagi langit sudah terang, tapi kalau musim dingin, jam 8 pagi itu masih gelap gulita, itu sama aja artinya lo harus kuliah subuh, matahari belum terbit tapi kelas udah mulai.

Bayangin coba betapa nantangnya kuliah di musim dingin; langit masih gelap, adzan subuh pun belum, udara bisa -1°, naik tramway desak- desakan setengah mati, kurang komplit apa coba ? Bayanginnya gini deh, kalau lo pernah ke Bromo buat liat sunrise, nah itu dingin kan? itu dinginnya enggak seberapa ketimbang disini.

Kalau ngobrolin tentang ujian, gue udah mulai belajar dari awal bulan November buat persiapan ujian di bulan Desember. Seminggu sebelum ujian, porsi belajar makin kenceng, gue selalu stay di perpus kampus dari pagi sampe malem, selain buat belajar kadang yang bikin betah di perpus adalah karena males pulang kerumah, males keluar gedung perpus karena diluar dingin banget, alhasil ujung-ujungnya gue stay di sana sampai pewe se pewe-pewenya *ribet amat kalimatnya*, jadi pulang kerumah tinggal tidur, besoknya bangun, makan, keperpus lagi, gitu-gitu aja selama hmpir seminggu. 

Gue enggak bisa foto semua karna kehalang rak buku, tapi percaya deh, ini susah banget nyari tempat duduk walaupun
padahal mejanya super panjang, banyak dan perpusnya ada tiga lantai. Tetep aja susah nyari tempat duduk :(


Deket-deket ujian, perpus yang awalnya rame jadi makin rame, susah banget buat nyari tempat duduk ,mahasiswa-mahasiswa disini kalau udah di perpus edan-edananan, kaga pulang-pulang, jadi dari yang gue perhatikan selama ini, mereka kalau belajar seharian, tapi diselingi dengan istirahat, dan gue akhirnya jadi keikut kaya gitu, misal ni yah pagi gue keperpus, nanti siang gue istriahat sejam duajam buat makan sambil ngopi di lobby perpus, lalu lanjut lagi, lalu kalau cape istirahat lagi, gitu-gitu aja. 
Tapi gue selalu salut sih sama orang-orang yang tahan belajar bahkan sampe perpus tutup, jam 23.00 , kalau gue udah angkat tangan, gak masuk lagi ke otak.

  

Perpus kampus kalo malem dan mesin kopi langganan di lobby perpus 

Lobby perpus, biasanya kalau baru cape belajar, pada keluar buat ngerokok sambil ngopi, 

Lanjut ke cerita ujian, hari senin tangal 11 kemaren, gue ujian matkul psikologi dan ternyata gue dapet jadwal yang jam 8 pagi, jam 7.30 gue udah berangkat menuju kampus, mandi enggak, makan belum, solat subuh kagak (soalnya belum adzan), udahlah tuh mampus gila, tertanya pas keluar apartement, eh ujan dan lumayan lebat, karena gue males naik lagi ke lantai 6 buat ngambil payung, jadilah gue ujan-ujanan ke kampus, sampe di depan gedung ujian, ternyata gedungnya masih dikunci dan jadilah gue sama temen-temen yang lain nunggu nunggu didepan gedung sambil ujan-ujanan, karena dari mereka enggak ada satupun yang inisiatif buat pergi dan masuk ke gedung lain buat neduh, ya akhirnya gue juga ngikut bediri ujan-ujanan, dalem ati gue cuma bisa nyinyir “untung ku bukan putri duyung“


Gue enggak tau apakah cerita ini bisa ngasi gambaran jelas ke kalian tentang gimana kuliah dan ujian semester dikala udara lagi dingin-dinginnya, kalau masih burem, nanya aja yakk, hehehe. 

Walaupun sejujurnya, gue lebih suka musim panas dan musim semi, di tapi so far, gue menikmati proses perkuliahan dan kehidupan gue disini selama musim dingin, lumayan lah ya dapet pengalaman.

Adakah juga dari kalian yang pengen ngerasain musim dingin di Eropa? 
Share
Tweet
Pin
Share
31 komentar
Dari tahun ke tahun, semakin banyak orang liburan ke Eropa dan mungkin lo pernah liat beberapa orang yang entah itu liburan/tinggal di Eropa, upload foto atau video seputar kegiatan mereka, yang keliatannya menyenangkan banget. Padahal, liburan ke Benua Biru itu engga gampang-gampang amat. Berdasarkan pengalaman gue, kalau ngajuin buat Visa pelajar, gue bisa bilang itu lumayan gampang, tapi bikin Visa Turis? Yah, gampang-gampang susah lah ya.
Sebelum lo ngajuin Visa buat liburan ke Eropa, wajib banget namanya memperhatikan dokumen dan hal-hal apa aja yang harus dipersiapkan sebelum pergi ke kedutaan negara yang dituju. Syarat dibawah ini mutlak ada untuk kedutaan manapun, biasanya, kurang satu aja, Visa lo bakal di TOLAK.  Jadi, perhatiin ini baik-baik kalau lo juga pengen nulis cerita perjalanan ala-ala gue ke benua biru. Asik
1. Formulir
Yang pertama banget adalah formulir, sekarang hampir semua formulir Visa yang harus kita isi sudah bisa diunduh lewat website masing-masing kedutaan. Jadi, engga perlu langsung datang ke sana. Kalau udah punya formulirnya, tinggal pastiin semua semua data yang diisi dalam formulir dan juga dokumen-dokumen yang diminta udah lengkap, setelah itu, baru deh  ke Kedutaan. Sebaiknya jangan pergi ke kedutaan sebelum dokumen-dokumen lo lengkap, kenapa? biar ga bolak-balik aja sih , hehehehe.

2. Paspor
via. nationalgeographic.co.id
Pastikan masa aktif paspor  lebih dari enam bulan dari masa berlaku. Beberapa Negara bahkan meminta syarat agar paspor masih berlaku seenggaknya sampai tiga bulan setelah kita pulang dari Eropa. Yah, buat amannya, ambil aja jarak minimal enam bulan dari masa kepulangan dari negara yang lo tuju.

3. Pas Foto Terbaru
Nah, kalau soal foto, masing-masing kedutaan punya aturan sendiri soal pas foto. Tentunya lo bisa cek syaratnya di website resmi mereka, soal kaya apa backgroundnya, berapa ukurannya dan berapa jumlahnya. Hal yang keliatannya sepele tapi harus bener-bener diperhatiin, jangan sampai bolak-balik mengurus visa hanya karena salah foto, rugi waktu banget itu mah.

4. Fotokopi Dokumen Pribadi
Nah ini penting juga nih, wajib banget siapin fotokopi KK, KTP, Akta Kelahiran atau Akta Nikah atau dokumen-dokumen lainnya sesuai dengan jumlah yang diminta, lebih banyak lebih bagus, buat jaga-jaga. Kalau gue waktu ngurus Visa, gue fotokopi semua dokumen yang dirasa perlu even itu ga diminta sama kedutaan, intinya, jaga-jaga aja. Biar ga bolak-balik keluar masuk kedutaan.
via. cermati.com
5. Asuransi Perjalanan
Salah satu syarat buat masuk ke Eropa adalah punya asuransi perjalanan dengan jumlah coverage minimal 30 ribu Euro atau sekitar Rp 477 juta. Dan satu hal yang penting, engga semua asuransi diterima, jadi pilihlah yang asuransi yang berstandar internasional kaya AXA, AIA, ACE dan lain sebagainya.

6. Copy Rekening Tabungan Tiga Bulan Terakhir
Nah ini yang rada berat sih kalau menurut gue, sepengalaman gue, sebelum ngurus Visa Pelajar ke Prancis, kita harus ngasi copy rekening koran tiga bulan terkahir senilai minimal Rp. 100 juta , tapi inget, beda negara, berbeda pula jumlah saldo yang diminta ada di dalam rekening. Paling rendah ada di angka Rp 25 juta per orang dan jumlah ini literally engga boleh kurang. Namun sebagian besar Negara mensyaratkan minimal Rp 50 juta sebagai saldo mengendap di rekening selama perjalanan di Eropa.

7. Surat Keterangan Kerja
Kalau kalian pegawai di sebuah perusahaan, surat keterangan kerja dan izin cuti ini sangat ngebantu untuk mempermudah pengurusan Visa kalau mau jalan-jalan atau merantau ke benua biru. Semakin besar dan terpercaya tempat kerjanya, akan semakin mudah ngurus visa ke Eropa.
Terus freelancer gimana dong? tenang aja, dokumen ini cuma sebagai penunjang kok, kan nanti lo juga bakal di wawancara pas di kedutaan, nah pinter-pinterlah nanti ngomong pas disana.
via. abcnews.com
8. Bukti Booking Tiket Pesawat
Ingat ya, yang diperlukan cuma bukti booking aja, bukan bukti pembelian tiket. Beberapa agen perjalanan memberlakukan sistem booking selama beberapa waktu sebelum tiket dinyatakan hangus. 
Hal penting buat nyiasatin Visa, ajuinlah berkas ketika masa booking tiket masih berlaku. Misalnya nih ya, lo bisa juga booking tiket Garuda Airlines beberapa jam sebelum berangkat ke kedutaan, sebagai bukti bahwa lo memang sudah mesan tiket untuk berangkat. Tapi lebih baik lagi kalau udah punya tiket Garuda Airlines buat perjalanan pulang. Jadi lo engga akan dicurigai bakal jadi imigran gelap yang nggak mau pulang dari Eropa. Kan ga lucu ya, hahaha.
Tips juga nih, sebaiknya jangan beli tiket Garuda Airlines dulu sebelum dapet Visa Eropa. Karena engga semua Visa diterima sama kedutaan, dan alasannya pun biasanya engga disebutin, makanya diawal gue bilang bikin Visa itu susah-susah gampang. Tapi, baru setelah dapet Visa, lo bisa langsung beli tiket tiket pesawat buat berangkat ke sana.

9. Bukti Booking Hotel
Bukti ini diperluin kalau lo engga punya saudara atau teman yang bisa ngasih surat undangan atau referensi. Biasanya, pihak hotel bakalan ngasih surat rekomendasi setelah lo bayar penuh. Tapi beberapa ada yang bisa cuma dibooking aja sebagai bukti, dan free charge jikalau misalnya kita batalin booking. Kalau gue, waktu itu gue booking hotel di airbnb demi nyari yang paling murah, hahaha.

Gue waktu ngurus Visa Pelajar ke Prancis, gue mendadak jadi ribet dan parno, karna takut Visa bakal di tolak, tapi alhamdulillah semua berjalan lancar, so, buat kalian yang pengen liburan ke Eropa.

Dan yang terakhir, selamat mengurus visa!
Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar
Gue sekarang lagi rebahan di kasur, sambil mandangin bendera merah putih di tiang pagar rumah, oy gue di Indonesia. Senangnyaaaaa.....

Libur summer (kuliah) kali ini  *padahal baru pertama kali* gue memilih buat pulang ke Indonesia, lumayan lama, dua bulan. 

Alasannya klasik, kangen rumah dan mau memperbaiki gizi.

Ternyata perjalanan pulang ke Indonesia gak sesimple makan bakso. Penerbangan Paris - Jakarta gak sebentar, durasi nya 15 jam, ditambah 10 jam transit, jadi total perjalanan yang harus gue tempuh adalah 25 jam. So, gue menganggap bahwa ini bukan sekedar perjalanan dan liburan biasa, maka dari itu gue mau bercerita sedikit, terutama pengalaman naik Saudia Airlines Asikk

Gue berangkat dari kota Caen (tempat gue kuliah) ke Paris, satu hari sebelum jadwal keberangkatan buat ngindarin telat plus sekalian jalan-jalan dikit. Walaupun keesokan harinya hampir telat juga.
         
         

Keesokan paginya, di perjalanan dari apartemen temen sampai menuju bandara, gue dag dig dug ser, takut ketinggalan pesawat karena bangun kesiangan. Sampe bandarapun gue lari dorong koper  menuju loket cek-in, pokoknya semua orang yang ngalangin gue anggap nyebelin dan salah hahhaa. 

Gue terbang naik Saudia Airlines dan transit di Jeddah, sejujurnya, 10 jam adalah durasi transit yang rasanya lama dan gabut banget untuk hanya sekedar duduk-duduk gak jelas tanpa wifi dan dengan ruang tunggu yang jauh dari kata layak. 
Pun dengan fasilitas yang ada, selain ruang tunggu yang gak nyaman dan wifi yang gak mau konek mulu, mushola dan toiletnya juga sama.
        
Orang-orang pada tiduran dan duduk di lantai, dan mushola yang kecil bertransformasi juga jadi tempat orang tidur, toilet yang masih ada sisa pup orang, iyaa men, masi ada bekas pupnya karna mampet dan jalan yang riwueh. "Berasa kaya lagi di pasar".  Itu kesan yang gue dapet selama 10 jam transit di sini.

Tapi justru beda cerita sama pesawatnya, kalau bicara tentang kondisi dalam pesawat, gue gak bermasalah sama sekali, karena memang pramugarinya ramah dan makanannya enak. Lumayan banyak pilihan lagu dan film walaupun ketek cewe aja di sensor, hehehe.
      
           Tuh loh disensor beneran keteknya, btw makanannya enak kok, tapi buat perut gue, porsinya kurang banyak hehehe
                                        

Di dalam pesawat menuju Jeddah, gue duduk di samping cewe Arab, sebelum landing di Jeddah, dia make-up in matanya luamaaaa banget, dan itu cuma mata lho, dia gak pake blush-on, kayanya gak bedakan juga, cuma lipstikan dan make-up in bagian mata. 

Di pesawat dari Jeddah menuju Jakarta pun sama, gue duduk di samping sepasang suami istri, Arab juga. Tapi mesra, gue envy dong yaaaa. Jadi nyamuk di pojokan. 
Si Istri sempet ngajak gue ngobrol pake bahasa Arab, gue jawab pakai bahasa Inggris kalau gue gak bisa bahasa Arab, dia bales jawab pake bahasa Arab mulu, gue kan jadi sebel, lalu gue jaweblah pake bahasa Prancis.

Pas udah landing di Soekarno-Hatta, si suami bilang (pake Arab lagi dan untungnya gue ngeh) kalau dia mau pinjem hp gue buat nelfon kerabatnya dengan alasan sim cardnya bukan sim card Indonesia. Gue bilang berkali-kali kalau gue gak punya sim card Indonesia tapi mereka tetap gak faham, ujuk-ujuknya mereka tetep pakai hp gue buat nelfon :(

Setelah landing di Jakarta dan keluar dari pesawat sekitar jam 21.00,  kesan yang gue rasain pertama kali adalah... Jakarta panas banget coooyyyy, kalau di Arab kayanya, panasnya tuh panas kering, di Indonesia tuh panasnya, panas lembab.
Gue malah ngerasa bahwa suhu Jeddah yang hampir 40 derajat kayanya lebih enak ketimbang suhu Jakarta yang engga sampe 30 derajat waktu itu. 

Malem itu, sembari nunggu penerbangan dari Jakarta ke Banjarmasin, gue makan di KFC, ya Allah demi apapun, nikmat banget sumpah (yah walaupun di Prancis KFC juga ada, tapi rasanya engga sama lho, ayamnya hambar mungkin karna gak pake micin dan penyedap rasa kali ya?)

Gue jadi baper sendiri malem itu, akhirnya bisa makan makanan yang sesuai lidah gue (lagi) setelah hampir setahun gak bersentuhan sama cita rasa Indonesia.

Sejak hari pertama nyampe Indonesia sampe hari ini, gue udah naik berat badan hampir 4 kilo, which is itu gak nyampe dua bulan.  Karna gue makan melulu, wisata kuliner kesana kemari tanpa kenal waktu sama sekali.

Dua minggu lagi, gue bakal balik ke Prancis, tapi kok rasanya gue sedih ya? dua bulan kok berasa kurang? masih banyak makanan-makanan yang belum sempet gue coba, hehehehe. Dan kalian percaya gak? Makanan Indonesia adalah salah satu alasan kuat kenapa gue pengen buru-buru balik ke Indonesia. Lagi dan lagi. Hahahaha. Semoga libur summer tahun depan gue bisa main lagi ke sini.

         

          
 foto-foto yang kalau di liat-liat, bikin gue makin betah stay di Indonesia hehehe
Share
Tweet
Pin
Share
33 komentar

Tepat tiga minggu yang lalu, selagi menunggu penerbangan dari Jakarta ke Banjarmasin di Soekarno Hatta, dua orang ibu paruh baya duduk disamping gue, salah seorang darinya membuka percakapan dengan menanyakan "Mbak, boleh pinjem charger hpnya?", percakapan pun dimulai, akhirnya gue mengetahui, salah seorang dari mereka berdua adalah TKW yang sedang berlibur ke Indonesia selama dua bulan, yang satunya lagi sedang menunggu kedatangan kakaknya yang juga TKW yang sedang dalam perjalan untuk melarikan diri dari Abu Dhabi. Iya lho, melarikan diri.

"Disekap sama majikannya mba" begitu katanya.

"Kenapa buk dia kabur?"

"Temennya yang mau gantiin dia kabur mba, jadi dia yang kena batunya, dia disekap udah hampir satu minggu, jadi dia kabur" 

Waktu terus berjalan, gue berbicara banyak dengan dua orang ini. Di satu kesempatan si ibu TKW yang sedang berlibur di Indonesia, beliau tiba-tiba menyodorkan kue nastar ke gue "Oh iya,,,ini kue dari majikan saya, enak banget , dia tau saya suka ini jadi dia beliin saya beberapa, makan aja dulu sambil kita duduk nunggu disini"

Tertegun sejenak, kok kebetulan yang luar biasa?  ngobrol sama dua orang dengan pekerjaan sejenis tapi dengan nasib yang bertolak belakang, si ibu yang kakaknya sedang dalam perjalanan menuju Indonesia terus-terusan bertanya "Apa kakak saya selamat ya, apa ga dicariinn majikannya ya? Apa nanti dia di hukum ya?". Sepanjang jam, raut mukanya tetap sama, masih terus khawatir sambil sesekali memeriksa hp, berharap kakanya bisa memberi kabar.

Menurut data  dari BNP2TKI,  periode 2011-2016, terhitung   2.320,959 orang pergi dari Indonesia  untuk bekerja sebagai TKI. Dan 1,5 juta atau lebih dari 60% dari mereka adalah Perempuan. 

Perempuan coy, perempuan. 

Bayangkaan jika mereka meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil, yang pada dasarnya masih butuh banget sosok seorang ibu, yang akhirnya anak-anak mereka diasuh oleh nenek, kakek, ataupun kerabat dekatnya.  

Ingin memperbaiki kondisi ekonomi agar bisa seperti orang lain, begitu kesimpulan jawaban sederhana dari ibu "Nastar" waktu itu. Beliau nekat bekerja ke luar negeri demi mengubah nasib, meninggalkan anak perempuannya yang masih SD beserta suaminya.

Tapi berkaca dari kisah ibu satunya, yang kakanya disekap oleh majikannya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan yang "Untung-untungan". 

Untung kalau dapet majikan baik, dibeliin tiket pesawat pulang-pergi, bisa milih mau pulang pakai maskapai apa, libur lebaran di kasih duit plus di kasih nastar super duper enak berkotak-kotak, tapi buntung kalau malah sudah kerja 4 tahun engga digaji sama sekali, disiksa pula.

Ironi dan kusut sekali, ungkapan yang gue rasa bisa ngewakilin semuanya.

Mereka yang tidak terserap memilih menjadi TKI, 2 juta orang berusia produktif memilih pergi. 

Gue membayangkan jika seandainya mereka ini diberi pelatihan keterampilan seperti mejahit misalnya, dan dikasih modal untuk membuka usaha jahit kecilnya. Mungkin saja mereka sekarang sedang makan malam bersama keluarganya, sambil nonton TV bersama.

Oh tapi, kaum millennial pasti bakal bilang "Ya elah, engga semudah itu, rumit tauk". 

Eh jangan-jangan pemikiran kita yang seperti ini yang menciptakan mereka, para kaum buruh migran.

Karna, sejatinya ngga ada yang bercita-cita jadi TKI, sebagian besar pergi karna terpaksa, rata-rata hanya lulusan SD atau SMP, dan bahkan toh sekarang lulusan S1 pun masih banyak yang menganggur. Kurang ironis apa coba?

Eh tapi, barusan tadi gue liat di berita bahwa per tanggal 1 agustus 2017, para pahlawan devisa ini sudah bisa ikut BPJS ketenagakerjaan, seenggaknya ini melegakan bagi orang-orang yang mencari penghidupan di tempat rantau.

Seenggaknya berita ini yang bisa gue sampaikan, gue engga mau menutup postingan ini dengan kesuraman.

Share
Tweet
Pin
Share
8 komentar
Sebelumnya gue mau ngasih tau dulu kalau ini ramadhan pertama gue jauh dari orang tua, ramadhan pertama di luar negeri. Jadi awalnya gue masi rada kagok.


Lebaran udah lewat, (lewat banget woy), rasanya sayang kalau gue gak nge-post soal ramadhan di Prancis, karna kalau dari komentar-komentar yang gue baca, ada sebagian yang suka kalo gue cerita soal kehidupan gue di Prancis. *Sok iye banget dah hehehe

Kalau ditanya rasanya gimana, awal-awal sebelum ramadhan mulai gue sempet sedikit sedih karna ngebayangin betapa jauhnya gue dari rumah, jauh dari orang tua, bayangin gak enaknya bangun sahur dan masak sendiri,  gitu gitu lah pokoknya, tapi justru setelah ramadhan mulai, gue malah ngerasa baik-baik aja, malah semakin hari semakin enjoy berpuasa disini. 

Karna gue sering kumpul bareng anak PPI (perhimpunan pelajar Indonesia) di kota Caen. Jadi sebulan penuh puasa malah jarang buka puasa sendiri, (beda sama perkiraan gue sebelumnya) karna anak PPI di kota Caen sering banget ngumpul buat buka bareng, biasanya disalah satu rumah anak PPI, fyi kita hampir ga pernah nongkrong di cafe atau buka puasa di resto gitu, selalu dan selalu dirumah, urunan duit buat belanja di carrefour terus masak bareng. Selaluuuuu begitu. 
Kalaupun buka diluar kita akan buka di tempat publik (bener ga nih bahasa gue?) misal di pelabuhan atau di taman, jadi tetep, masak dirumah dulu lalu lanjut ngumpul di salah satu rumah anak PPI, bisa juga taraweh bareng dulu setelah itu lanjut main kartu atau monopoli, sampe subuh, terus sahur bareng,  habis sahur baru pada tidur. Paginya baru pulang ke rumah masing-masing.

Oh iya, fyi lagi, karna ramadhan di Prancis itu jatuh pas lagi summer, pas lagi panas-panasnya, yang dimana waktu siang lebih lama dari pada malam, jadi umat muslim disini berpuasa dari jam 04.00 pagi sampe magrib jam 22.00 Lalu isya-nya jam 23.00 malam , begitu terus selama sebulan penuh. 

Kalau ngomongin soal taraweh, karna disini umat muslim miniritas jadi bisanya jemaah yang  sholat engga banyak, masjid disni pun engga gede, kaya masjid komplek gue. Tarawehnya cuma 10 rakaat ditambah 1 rakaat withir, kalau di Indonesia kan biasanya habis kelar 2 rakaat, ada jeda sebentar, imam bakal baca doa/shalawat (koreksi kalau gue salah ya), kalau disini engga, habis salam, langsung bediri lagi buat sholat, ceramah pun engga ada. Jadi "feel" tarawehnya kurang berasa sih menurut gue hehehe.
maaf kalo fotonya jelek , ini hasil capture-an heehehe
Disini gue jarang taraweh, karna jarak masjid dan rumah  jauh dan yang paling utama karna gue terkendala transport, jadi karna isya jam 23.00 maka taraweh biasanya dimulai jam 23.30 an sampai jam 01.00 pagi. Di jam segitu udah engga ada lagi bus atau tramway, jadi kalau mau maksain taraweh, harus siap-siap pulangnya jalan kaki dan sejam baru nyampe rumah. Maka dari itu gue cuma beberapa kali doang taraweh sejak di Prancis hehehe.

Kadang gue berusaha taraweh dirumah, tapi susah banget karna jam 23.00 biasanya gue udah ngantuk, kecuali pas lagi kumpul bareng anak-anak sini, mata gue tahan begadang ampe subuh. Entah kenapa. Gue biasanya kalo taraweh sama monika, pulangnya kita jalan, sepanjang jalan kita karaokean, karna jalanan sepi jadi kita bisa nyanyi sepuas hati.

Dan eh tau-tau udah lebaran aja, padahal gue masih selalu ngerasa kalau ramadhan baru satu mingguan, tanggal 25 juni kita sholat idul fitri di masjid yang sama buat taraweh, sholat dimulai jam 9 an pagi lalu dilanjut sama khotbah pake bahasa Prancis dan Arab, karna disini banyak orang Arab. 
Kelar sholat, orang-orang engga langsung pulang ninggalin masjid, rata-rata pada stay dulu sebentar buat saling ngobrol sama temen plus sambil nyemil kue-kue an yang disedian sama masjid.

Kesimpulannya, disini engga ada nuansa ramadhan sama sekali, karna memang muslim disini minoritas, tapi gue rasa, ramadhan bukan soal ada nuansanya atau engga, tapi soal perubahan yang terbawa di kita setelah semua lewat, ya ga sih? Heheheh

Eh tapi setelah pulang dari masjid, gue sama anak-anak PPI makan opor ayam di taman deket rumah. Alhamdulillah hehehehe. 
Apa lagi yah yang kurang gue ceritain? Nanti kalau ada tambahan gue bakal update lagi post ini deh. Oh iya maaf ya fotonya ala kadarny banget, gue engga ambil foto, gue nge video, jadi ini foto hasil capturean video yang gue ambil heheh.

Selamat lebaran semua, maaf telat, semoga kita bisa ketemu sama lebaran tahun depan, tahun depannya lagi, lagi, dan lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar

"Engga ada yang lebih pahit dari ga bisa jadi diri sendiri karena engga di terima oleh lingkungan"  Kurang lebih, begitu kata Pandji, ketika dia bercerita tentang dia yang di permalukan oleh gurunya karena engga bisa ngerjain soal matematika di papan tulis, gue, sebagai seorang yang pernah mereasakan hal yang sama, jadi tiba-tiba pengen bahas hal ginian disini hahaha.

Waktu SD, salah seorang guru gue, namanya pak Slamet ( Inget banget nih gue), dia ini, tiap kali habis baca doa sebelum pulang sekolah, suka nanya ke anak muridnya, entah itu soal agama atau IPA atau bahkan soal matematika, yang paling cepat bisa menjawab, itu yang bisa pulang duluan, bayangin ada 30 anak murid dan dia dengan niatnya nyiapin 29 soal secara oral, murid terakhir yang engga bisa jawab, bakal kena hukuman, entah itu nyanyi atau apapun itu. 

Gue, adalah salah satu korbannya, bayangin coba, suatu hari, sebelum pulang dia kasi soal matematika ke kita satu persatu, perkalian dan pembagian, lah gue kan kalo hitung-hitungan kudu mikir dulu yak,  engga bisa cepet jawabnya, gue, sebagai orang yang memang lamban di matematika, sudah pasti, jadi anak terkahir yang tersisa dikelas, gue dihukum, di suruh nyanyi, dan kampretnya, temen-temen gue yang udah pada jawab soal dan bisa pulang duluan,  mereka engga mau pulang tapi malah ngeliatin gue. Gue malu, ngerasa dipermalukan banget.

Kejadian itu engga bisa gue lupain sampe sekarang, bayangin anak SD yang pikirannya belum dewasa, masih polos dan naif banget, di permalukan di depan teman-temannya, jelas sakit hati dong ya. Sejak saat itu gue jadi takut matematika, jadi engga suka matematika, bahkan ketika gue udah berusaha untuk sukapun, ujung-ujungnya gue akan males sendiri ngerjain sesuatu yang berhubungan sama matematika,  tapi karena mayoritas teman-teman gue cenderung cepat dalam berhitung, gue jadi ngerasa minder, engga pede, gue berbeda dan gue malu, gue minoritas yang ngerasa tertindas saat pelajaran Matematika dan bahkan itu berkelanjutan sampai di jenjang sekolah menengah. 

Beruntungnya, setelah lulus SMK,  gue menyadari bahwa memang gue engga ada bakat dalam hitung menghitung, dan akhirnya bisa memahami bahwa, ya okelah, mungkin gue lemah di hitung berhitung tapi jago di hal lainnya, yang dimana engga semua orang jago di hal yang gue jago. Gue beda, gue menerima, dan itu membahagiakan :)

Kembali ke point awal, menjadi minoritas enggaklah enak, entah itu minoritas karena fisik, ekonomi, ras, agama atau papaun itu, engga enak, tapi apa mau dikata, begitulah sudah keadaannya. 

Contoh,  di Indonesia, dari jaman dulu sampai sekarang masih eksis loh yang namanya bully-bully an soal fisik, misalnya gue yang dulu waktu SD sering di katain sama temen-temen sekolah hanya karna saat itu kulit gue alergi parah dan sensitif banget sama gigitan nyamuk (walaupun Alamdulillah sekarang gue sembuh) atau contoh lain temen  gue yang berkulit paling hitam di sekolah, selalu sering dikatain "Eh negro lo, kok nyasar sini". 

What the hell are you guys talking about? Kita engga bisa memilih kita mau terlahir kaya apa, entah kulit lo hitam atau putih, fisiknya lengkap ataupun engga, bukankan itu sudah ketentuan dari Tuhan? Kenapa menghabiskan waktu menghina, memojokkan, atau ngebecandain orang-orang tertentu hanya karna mereka berbeda dari kalian? hanya karna orang ini dianggap minoritas, it's not funny at all.

FYI, karna pengelaman yang gue ceritain diatas, gue jadi sensi banget tiap kali ada orang yang becanda soal fisik, entah itu becandaan ditujukan ke gue ataupun ke orang lain, gue engga suka. Buat gue, ngebecandain fisik sama aja kaya ngebecandain Tuhan. 

Tapi, dari semua yang pernah gue alamin itu, tinggal di Eropa-lah yang membuat gue ngerasain lebih "Jelas" rasanya jadi minoritas itu kaya apa, susahnya nyari makanan halal, sedikitnya masjid di kota tempat gue kuliah, atau susahnya nyari kerja karna gue pakai jilbab dll. Gue baru memahami sepenuhnya rasa jadi minoritas setelah kuliah di Perancis.

Engga mudah lho jadi minoritas di sini, di Indonesia, mungkin lo bisa sholat di tempat umum dan itu akan dianggap biasa aja, tapi, di sini, temen gue sholat di pojokan resto kampus, besok harinya tempat yang dia sholatin itu dijaga sama security kampus, atau contoh lain, tetangga gue yang beberapa wktu lalu cerita ke gue, gini " Eh aku tadi liat cewe sholat di pinggir sungai, aneh banget ya, bizzare gitu, apa banget deh ", sambil tangannya ditaroh di dahi, ngasi tanda orang sinting. Hehehe, FYI, di Perancis, agama itu urusan pribadi masing-masing, sebaiknya engga perlu ditunjukkan, begitu kata dosen gue.

Well,tapi apa enaknya jadi minoritas? Menurut gue pribadi, lo akan jadi orang yang lebih bisa menerima dan engga mudah menghakimi, akan lebih bisa mengerti karena mungkin lo tau rasanya disakiti *eaaa. 

Hmmm, sebenernya gue engga tau lagi harus ngetik apa, gimana lagi ngelanjutinnya, gue juga engga tau gimana harus conclure-in postingan ini hahaha. Tapi, sejujurnya, gue cuma berharap, semoga kita semua makin bisa lebih peka dan mengerti sama hal-hal yang ada, bisa memahami bahwa setiap orang dari kita itu  berbeda, bahwa setiap orang punya "Jago" dan "Lebih" nya masing-masing.

So please jangan jadi sosok yang suka menghakimi dan memojokkan satu sama lain hanya karena embel-embel "Beda" itu sendiri, yang pada akhirnya membuat beberapa minoritas malah menyembunyilkan jati diri mereka sebenarnya, mengubah mereka jadi orang lain yang bukan mereka, karena dunia itu terlalu indah kalau cuma di gunain hanya buat ngurusin hal-hal yang beda yang engga mungkin akan berubah jadi sama. Ya gak sihhhh? Hehehe

Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar
Tulisan ini bener-bener opini pribadi dari gue dan sangat subjektif sekali, jadi gue yakin pasti akan ada beberapa orang yang beda pendapatnya. Tulisan ini terinspirasi pas gue cerita-cerita sama si Yola beberapa waktu yang lalu.

Sebagai anak rantau yang ngerantaunya kejauhan, kalo kata beberapa orang. Waktu itu, gue sama yola ngobrol-ngobrol soal kekangenan kita sama orang tua, sama Indonesia. Doi bilang, sayang aja kalau kita sekolah jauh-jauh, bertahun-tahun, terus balik ke Indonesia tapi taunya orang tua udah engga ada, *naudzubillah sih*.

Iya juga sih ya, sayang, kita sekolah jauh-jauh tapi  kehilangan momen kebersamaan sama keluarga yang pada dasarnya kita butuhin. Well, buat gue pribadi, sama kaya kita butuh pendidikan, kita juga butuh keluarga.

Dialog hari itu engga lama, bener-bener cuma sekedar curhat colongan, tapi esok hari setelahnya dan bahkan sampai sekarang, gue terus mikirin hal ini, curcol yola ke gue bener-bener thought provoking banget.

Gue punya banyak temen yang engga berani sekolah jauh karena engga mau jauh dari orang tuanya, lalu apakah orang yang sekolah jauh-jauh artinya kurang sayang sama orang tua? Hmm, well, gue selalu bilang ke orang tua “Mah, bah, kiki sekolah jauh mau nyari ilmu sebanyak-banyaknya biar bisa jadi “Orang”, biar bisa bikin kalian bangga",  tapi kadang kalau dipikir-pikir lagi ya, gue sekolah jauh, ngabisin duit orang tua, belajar kadang masih males, apakah yang gue lalukan sejauh ini sudah benar-benar pembuktian rasa sayang? Jawabannya sampe sekarang masih ngambang.

Salah satu kerabat orang tua gue di Banjarmasin, punya cara sendiri untuk menunjukkan kalau mereka “Sayang” ke anaknya. Sedari SMP semua anak-anaknya udah ke daftarin ke boarding school di pulau Jawa, beberapa tahun setelahnya, si ibu meninggal tapi bahkan sampai sekarang, semua anak-anak itu masih tinggal jauh dari orang tua tunggal mereka.

Bukankah hal kaya gini keliatan ironis banget? Para orang tua beramai-ramai nyekolahin anak mereka (yang padahal masih kecil) jauh-jauh, tapi lupa bahwa kebersamaan keluarga juga hal yang penting, kata nyokap gue, sesukses apapun lo, setinggi apapun karir yang udah dicapai, tapi kalau orang tua lo engga bisa menyaksikan itu secara langgsung, kurang puas rasanya, kurang berasa feel nya.
Dosen gue, si monsieur Piot, pernah ngasih tau, kalau sarana pendidikan itu ada 3 tingkat, tingkat pertama itu keluarga, lalu baru sekolah formal dan yang terakhir masyarakat.
Di mata kuliah psychologie developpement, gue pernah belajar tentang anak umur 10 tahun yang ditemuin di hutan oleh *gue lupa abis nama psikolognya*,  si anak ini literally engga bisa ngapa-ngapain karena dari bayi hidup sendiri dalem hutan. Dia dilatih sama si psikolog ini untuk belajar ngomong, makan, diajarin berperilaku layaknya manusia, tapi pun pada akhirnya dia tetep engga bisa ngelakuin itu, ya karena dari bayi ini anak bener-bener hidup sendiri tanpa keluarga di dalem hutan.

See? Udah kebayang kan betapa pentingnya peran sebuah keluarga dalam kehidupan seseorang. Tapi kenapa, ada orang tua yang bahkan berani masukin anaknya ke pesantren, padahal anaknya sendiri masih SD? Apakah para orang tua ini lupa kalo kebersamaan keluarga juga penting? Apakah bentuk rasa yang mereka bener-bener udah “Bener” ?.  Silahkan kalian simpulkan sendiri

Kalau dari gue sih konklusinya sederhana ya, posisikanlah gue misalnya sudah menikah dan punya anak, gue yang akan memilih untuk tanggung jawab sama pendidikan anak-anak gue kelar, dalam artian, gue hanya akan serahkan mereka ke sekolah Cuma dari jam 7 pagi sd siang, sisanya, tugas gue dan suami yang harus ngedidik, ngajarin manner, attitude dan segala tetek bengeknya. Setelah mereka lulus SMA, baru dah gue lempar mereka ke tempat jauh, biar “Dunia” yang ambil alih tugas buat ngedidik anak-anak gue. Asiiikk

Karena, ilmu dan pengalaman itu bertebaran dimana-mana, mereka berada diluar pintu, dua hal yang menurut gue akan bisa kita dapatkan dengan banyak ketika kita berani keluar rumah, terlepas itu jauh ataupun dekat. 




Share
Tweet
Pin
Share
45 komentar
Ini foto waktu masih awal-awal semester 1, masih rami kelasnya nah
Gue inget banget nih ya, waktu di Jogja, sering nonton film di Bioskop karena tiket nya yang murah super banget, lo bayangin dong hari senin cuma 25 ribu, beli satu gratis satu di CGV. Oke skip, tapi udah hampir satu tahun tinggal di Perancis, gue seumur-umur baru sekali nonton di bioskop, itupun gue nyesel udah buang 5€ gue yang berharga hahaha. Eh tapi tiba-tiba gue kepikiran buat bikin postingan ini, engga jadi rugi 5€ nya. Gue nyoba ngulik-ngulik, kiranya “Hal apa yang yang berubah setelah gue tinggal dan kuliah di luar negeri? gue akan jabarin dengan beberapa point yang bener-bener pure dari pengalaman gue selama satu tahun belakangan ini tinggal dan kuliah di Perancis. Mana tau bisa jadi pandangan buat kalian yang berencana study abroad juga.

1. Super-Independent

Kalau beberapa orang pergi ke negara yang baru pertama kali mereka datangi, mungkin akan diantar oleh kerabat atau orang tua atau juga misalnya ada beberapa orang pakai jasa agen yang datengnya beramai-ramai, sampai di bandara udah di jemput, diajak jalan-jalan lalu dianterin ke rumah mereka yang udah di bookingin jauh-jauh hari.  

But when I moved abroad, pertama kalinya nginjekin kaki di luar negeri, gue melongo sendirian di bandara Paris Charles de Gaule dengan 1 koper gede, 1 tas travel bag dan sebuah tas backpack. Gue, engga tau sama sekali gimana caranya mindahin badan gue ini dari Paris ke kota Caen (tempat gue kuliah). Engga ada yang jemput,  engga ada temen, bener-bener sendirian. Kaya orang lingung, engga tau harus mulai dari step mana, engga tau apa yang harus dilakukan terlebih dahulu, perasaan gue campur aduk, seneng, excited plus juga takut.

Tapi toh gue bisa ngelewatin semuanya, sekarang gue jadi engga kagok lagi jalan atau pergi sendirian ke tempat yang even gue engga tau betul daerah itu kaya apa. Gue juga ngerasain ada perubahan di hal lain, mulai dari memanage keuangan bulanan, ngabisin waktu yang super duper lama kalau beli bahan makanan karna sudah kebawa konsep "Yang penting harus murah", rutin nyobain resep-resep baru, selalu berusaha ngehemat listrik dll,  hal-hal yang dulunya bisa gue “Skip” untuk gue lakukin sewaktu di Indonesia, gue harus lakuin semuanya disini. I have no choice but i enjoy it.


2. Be more open minded

Gue kalo di foto rame-rame kadang entah kenapa sering dipojok 
Lo akan ketemu banyak orang dengan perspective yang berbeda, lo akan ketemu berbagai macam orang dengan sudut pandang yang beda,  and of course i’ve learned to respect diversity. Contoh sederhana, orang Indonesia dan juga gue tentunya, lahir dan dibesarkan dengan sebuah agama, di Indonesia pun agama boleh “Dipertontonkan” di depan publik, i mean, lo bisa denger suara adzan walaupun rumah lo 100 meter jaraknya dari masjid atau lo bisa nonton live report kegiatan misa natal di gereja di TV nasional.

Silahkan pergi ke Perancis, negara sekuler yang bahkan lo ga bisa denger suara adzan even masjid berada di seberang jalan rumah lo. Waktu gue ngobrol soal Sekularisme di Perancis sama dosen (Favorit) gue, doi bilang kurleb begini “Perancis adalah negara yang berusaha netral dengan semua agama, kita engga mau memihak agama apapun, semua orang bebas, mau percaya Tuhan atau engga, kita engga bisa memaksa mereka, Tuhan itu dihati kita, hubungan pribadi, hanya urusan kita, engga perlu di “Publikasikan”. Secara engga langsung ini bisa bikin lo lebih toleransi terhadap orang lain, lo akhirnya bisa tau, bahwa setiap hal apapun yang mungkin “enggak lo setuji” ketika lo berada di Indonesia, akhirnya bisa lo pahami sebabnya.

3. Transportasi umum lah segalanya

  

Lo tau gak kalo kebanyakan orang Indonesia, lebih memilih naik motor buat pergi ke suatu tempat yang kalau dengan jalan kaki, cuma butuh waktu 5 menit. Gue, salah satu dari golongan orang-orang ini nih, pergi ke depan komplek buat beli pulsa pun haramlah udah jalan kaki. Baru nih ya, sejak tinggal di Perancis gue mulai terbiasa jalan kaki, karena engga punya motor apalagi mobil, sehari-hari gue pakai bus atau tram buat pergi ke suatu tempat. Kadang kalau gue lagi males karena tram sering penuh, gue lebih milih jalan kaki, toh kampus gue jaraknya cuma sekilo dua kilo dari rumah. Tapi akhir-akhir ini gue lebih milih pake sepeda yang bisa disewa kapanpun lo butuh, kaya temen sejati, jadi ada semacam "Pangkalan"nya gitu, tinggal masukin kode, udah deh bisa ambil sepedanya, nanti kalau udah kelar make tinggal balikin di "Pangkalan" manapun yang kita mau. Engga harus di tempat yang sama ketika minjem. Enak kan?

4. Makin cinta Indonesia.

"Lo ga akan tau apa yang ada di luar kotak kalau lo selalu berada di dalam kotak"

Quote ini, bener-bener berlaku dan baru gue rasakan setelah tinggal di Perancis, beneran baru ngerasa Indonesia tuh indah banget cuyyyy setelah jauh dari Indonesia,  gue juga sering jadi duta wisata dadakan dengan cara nunjukin foto-foto objek wisata di Indonesia ke temen di kampus, dan yang pasti gue kangen gado-gado dan gudeg Jogja, kepengen banget makan padang sampe kadang baper sendiri, selalu ngiler kalau liatin gambar ayam geprek, atau lontong banjar, kangen makan batagor (lah kok makanan semua) hahaha. Pokoknya gue jadi sadar kalo makanan Indonesia itu enak bangeet woyyyy!!! Dan gue juga sadar bahwa walaupuun negara orang itu enak, transportasi umum bagus, tepat waktu dll dsb dll lah pokoknya, toh walaupun gitu, gue juga tetep selalu kangen dan pengen liburan ke Indonesia.


Ohya, juga gue makin deket sama orang tua, berasa banget kalo orang tua itu dua manusia yang paling penting di hidup gue sekerang, seperti rasanya gue bener-bener baru ngerasa bahwa yang namanya jarak itu malah bikin cinta makin kelihatan besarnya. Eaaa

Sebetulnya banyak sih hal yang yang berubah dari gue setelah tinggal di Perancis, contohnya gue yang sekarang jarang ngafe karna kudu berhemat, yang dulu ngomong inggris engga pede searang jadi pede, juga jadi ngerasa makin passionate sama pendidikan dan hidup gue dsb.

Sebetulnya, apa yang gue jabarin itu engga selalu sama lho, beberapa orang mungkin bisa berubah sedemikian rupa karena study abroad tapi sebagian lain mungkin engga terlalu ketara. Terlepas dari semua itu, kalau lo punya keinginan buat kuliah ke luar negeri atau mungkin kuliah di Perancis, lakukan aja, carilah jalan menuju kesana semaksimal yang lo bisa. Karena study abroad (menurut gue) bener-bener asik, lo akan belajar hal baru, budaya baru, ketemu orang baru dengan cara pandang yang berbeda luar biasa dan tentunya akan ngasih lo pengalaman yang engga pernah lo dapetin sebelumnya ketika lo masih di Indonesia.

Tetap semangat!
Share
Tweet
Pin
Share
25 komentar
Newer Posts
Older Posts

Author

Facebook

Suka mikir, makan, main, jalan dan lagi ngulik-ngulik ilmu baru di Prancis buat dibawa pulang ke Indonesia

Follow Me

Google+

Galeri

Popular Posts

  • Sedikit kisah di Institut Français d'Indonésie
    Sedikit kisah di Institut Français d'Indonésie
    Intro dulu dikit yah, aku di IFI ngambil kelas CFA (lupa kepanjangannya), CFA adalah kelas percepatan bahasa perancis jadi kita dijanjikan ...
  • Sedikit cerita di masa lalu.
    Sedikit cerita di masa lalu.
    yang doyan ke SunMor UGM pasti tau doi hahaha ( (Sumber gambar) "Kalau fisik lo biasa-biasa aja,  jualan lo satu-satunya ya kepr...
  • Ada apa di jendela?
    Ada apa di jendela?
    Bonjour a tous Mungkin kalian mikir kalau gue salah ngasih judul dan nyletuk "Ki harusnya judulnya Ada apa pada jendela ki" eh e...
  • Percakapan 5 menit
    Percakapan 5 menit
    Malem Idul Adha beberapa waktu yang lalu, gue iseng nulis private mesagge di BBM. Iya gue alay terus kenapa? Jadi gue nulis “Halo Banjar...

Blog Archive

  • ►  2018 (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2017 (12)
    • ▼  Desember (2)
      • #LifeinFance : Serba serbi universitas di Prancis
      • #LifeinFrance : Kuliah dan ujian semester di musim...
    • ►  Oktober (1)
      • Mengurus Visa Liburan ke Eropa
    • ►  Agustus (1)
      • Cerita perjalanan : Paris - Jakarta
    • ►  Juli (2)
      • TKI, nastar dan sebuah ironi
      • Puasa, taraweh, dan lebaran di Prancis
    • ►  Juni (1)
      • Menjadi minoritas, menjadi beda.
    • ►  Mei (2)
      • Sayang, tapi lupa sayang : Sekolah jauh atau kumpu...
      • #lifeinFrance : How studying abroad changed my life?
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2016 (11)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2015 (48)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (16)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (9)
  • ►  2014 (1)
    • ►  Desember (1)
  • ►  2013 (4)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Part Of



Blogger Perempuan

Followers

Pageviews

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates