Tepat tiga minggu yang lalu, selagi menunggu penerbangan dari Jakarta ke
Banjarmasin di Soekarno Hatta, dua orang ibu paruh baya duduk disamping gue,
salah seorang darinya membuka percakapan dengan menanyakan "Mbak, boleh
pinjem charger hpnya?", percakapan pun dimulai, akhirnya gue mengetahui,
salah seorang dari mereka berdua adalah TKW yang sedang berlibur ke Indonesia selama dua
bulan, yang satunya lagi sedang menunggu kedatangan kakaknya yang juga TKW yang
sedang dalam perjalan untuk melarikan diri dari Abu Dhabi. Iya lho, melarikan
diri.
"Disekap sama majikannya mba" begitu katanya.
"Kenapa buk dia kabur?"
"Temennya yang mau gantiin dia kabur mba, jadi dia yang kena batunya,
dia disekap udah hampir satu minggu, jadi dia kabur"
Waktu terus berjalan, gue berbicara banyak dengan dua orang ini. Di satu
kesempatan si ibu TKW yang sedang berlibur di Indonesia, beliau tiba-tiba
menyodorkan kue nastar ke gue "Oh iya,,,ini kue dari majikan saya, enak
banget , dia tau saya suka ini jadi dia beliin saya beberapa, makan aja dulu
sambil kita duduk nunggu disini"
Tertegun sejenak, kok kebetulan yang luar biasa? ngobrol sama dua
orang dengan pekerjaan sejenis tapi dengan nasib yang bertolak belakang, si ibu
yang kakaknya sedang dalam perjalanan menuju Indonesia terus-terusan bertanya
"Apa kakak saya selamat ya, apa ga dicariinn majikannya ya? Apa nanti dia
di hukum ya?". Sepanjang jam, raut mukanya tetap sama, masih terus khawatir
sambil sesekali memeriksa hp, berharap kakanya bisa memberi kabar.
Menurut data dari BNP2TKI, periode 2011-2016, terhitung
2.320,959 orang pergi dari Indonesia untuk bekerja sebagai TKI. Dan 1,5
juta atau lebih dari 60% dari mereka adalah Perempuan.
Perempuan coy, perempuan.
Bayangkaan jika mereka meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil, yang
pada dasarnya masih butuh banget sosok seorang ibu, yang akhirnya anak-anak
mereka diasuh oleh nenek, kakek, ataupun kerabat dekatnya.
Ingin memperbaiki kondisi ekonomi agar bisa seperti orang lain, begitu
kesimpulan jawaban sederhana dari ibu "Nastar" waktu itu. Beliau
nekat bekerja ke luar negeri demi mengubah nasib, meninggalkan anak
perempuannya yang masih SD beserta suaminya.
Tapi berkaca dari kisah ibu satunya, yang kakanya disekap oleh majikannya,
kita bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi buruh migran adalah pekerjaan yang
"Untung-untungan".
Untung kalau dapet majikan baik, dibeliin tiket pesawat pulang-pergi, bisa
milih mau pulang pakai maskapai apa, libur lebaran di kasih duit plus di kasih
nastar super duper enak berkotak-kotak, tapi buntung kalau malah sudah kerja 4
tahun engga digaji sama sekali, disiksa pula.
Ironi dan kusut sekali, ungkapan yang gue rasa bisa ngewakilin semuanya.
Mereka yang tidak terserap memilih menjadi TKI, 2 juta orang berusia
produktif memilih pergi.
Gue membayangkan jika seandainya mereka ini diberi pelatihan keterampilan
seperti mejahit misalnya, dan dikasih modal untuk membuka usaha jahit kecilnya.
Mungkin saja mereka sekarang sedang makan malam bersama keluarganya, sambil
nonton TV bersama.
Oh tapi, kaum millennial pasti bakal bilang "Ya elah, engga semudah
itu, rumit tauk".
Eh jangan-jangan pemikiran kita yang seperti ini yang menciptakan mereka,
para kaum buruh migran.
Karna, sejatinya ngga ada yang bercita-cita jadi TKI, sebagian besar pergi
karna terpaksa, rata-rata hanya lulusan SD atau SMP, dan bahkan toh sekarang
lulusan S1 pun masih banyak yang menganggur. Kurang ironis apa coba?
Eh tapi, barusan tadi gue liat di berita bahwa per tanggal 1 agustus 2017,
para pahlawan devisa ini sudah bisa ikut BPJS ketenagakerjaan, seenggaknya ini
melegakan bagi orang-orang yang mencari penghidupan di tempat rantau.
Seenggaknya berita ini yang bisa gue sampaikan, gue engga mau menutup postingan ini dengan kesuraman.