Sebenernya gue bisa mengatakan kalau tulisan ini terinspirasi oleh peringatan hari Kartini beberapa waktu yang lalu. Well, kartini itu identik dengan kata "Perempuan" dan Perempuan identik dengan kata "Memasak". Ngomong-ngomong soal memasak, gue mulai suka dan rajin (walaupun belum pintar) memasak sejak tinggal di Perancis, yahh, gimana bisa seseorang yang kerjaannya waktu di Jogja keluyuran hampir tiap pagi, siang, malam nyari warung makan lalu cuma duduk diam ngeliatin akun Instaram yang posting foto makanan ketika lagi merantau di negeri orang?
Gue, mau engga mau, suka engga suka, harus bisa masak karena disini engga ada yang jual soto ayam, engga ada ibu-ibu ngemper jagain jualan gudegnya, engga ada nasi pecel, engga ada yang jual nasi goreng gerobakan, engga ada yang jual batagor dan engga ada yang jual gorengan di pinggir jalan. Bener-bener engga ada sama sekali.
Bahkan seandainyapun (walaupun gak mungkin) gue engga suka makanan-makanan itu, gue akan tetap kelimpungan karena kalau makan diluar rumah itu spend money banget, misalnya makan porsi lengkap di restoran lo harus keluarin 10-20€ per sekali makan yang padahal kalo masak dirumah duit 15-20€ itu bisa buat makan seminggu, well, gue engga bisa hidup dengan cara begitu, walaupun mungkin buat orang Perancis harga kaya gitu standar, tapi karena gue hidup dari beasiswa "Mama papa" dengan duit Rupiah yang di kurs kan, ini kerasa mahal buat gue,
Paket makan di Restoran kampus
Kalau makan di restoran kampus, lain cerita, menu komplit segini cuma 4€ sih, lumayan lah udah dapet makanan pembuka, makanan utama, penutup, banyak varian menunya, ada dessert, puding, macem-macem deh, enak. Tapi kalo gue baru perhitungan, gue suka mikir "Ini kalo di Rupiahin berarti 55 ribu, buat sekali makan makanan yang rasanya sebenernya biasa-biasa aja, hmm mending gue bikin nasi kuning pake telor balado di rumah, modalnya engga sampe 3€ udah bisa buat makan seharian".
Maka dari itu sejak hampir setahun yang lalu tinggal di Perancis, gue jadi rajin masak, bahkan masakan yang dulu waktu di Indonesia engga bisa gue bikin, di Perancis, entah kenapa gue jadi bisa masak-masakan itu, gue yang dulu mikirnya bikin risol, sambal balado, ayam asam manis, bubur ayam, martabak, gado-gado, pizza dll sendiri itu susah, sekarang gue bisa makan itu kapanpun gue mau, ini konsep yang gue sebut "Membawa Indonesia kemanapun kamu pergi".
Maka dari itu sejak hampir setahun yang lalu tinggal di Perancis, gue jadi rajin masak, bahkan masakan yang dulu waktu di Indonesia engga bisa gue bikin, di Perancis, entah kenapa gue jadi bisa masak-masakan itu, gue yang dulu mikirnya bikin risol, sambal balado, ayam asam manis, bubur ayam, martabak, gado-gado, pizza dll sendiri itu susah, sekarang gue bisa makan itu kapanpun gue mau, ini konsep yang gue sebut "Membawa Indonesia kemanapun kamu pergi".
Tapi gue selalu ngerasa sangat terganggu sama suatu hal, sering gue denger atau baca caption, status, tweet yang bilang "Nyari istri mah engga harus yang cantik, yang penting pinter masak aja udah cukup" atau ada temen yang bilang ke gue "Wah lo ini mah udah siap nikah ki" entah ini pujian atau basa-basi doang karena seneng baru dapet makanan gratisan.
Gue jadi mikir, kenapa salah satu takaran utama (selain bagus agamanya) menjadi istri ideal buat kebanyakan orang di Indonesia adalah seorang perempuan yang pintak memasak? Kenapa pendidikan seorang perempuan hanya menjadi nilai tambah dalam kriteria menjadi seorang istri ideal? Padahal kalau mau dipikir lagi, peran memasak bisa digantikan oleh pembantu, atau bisa digantikan sama abang-abang soto ayam pinggir jalan. Tapi mendidik anak, yaaahh, lo yakin bisa digantikan sama abang-abang jualan cilok? "Mah, Albert Einsten itu siapa?" sebentar ya nak, biasanya sebentar lagi abang yang jual cilok lewat di depan rumah, nanti kamu nanya sama dia aja yah sayang".
Gue sampai sekarang belum pernah sama sekali denger orang bicara "Wah si itu sekolahnya tinggi, pinter sekali, kritis sekali pemikirannya, IPK nya tinggi banget, udah cocok banget jadi istri ideal". Engga pernah sekalipun gue denger orang ngomong kaya gitu.
Terus apa gunanya perempuan sekolah tinggi-tinggi, menuntut ilmu kesana-kemari, ngejar dosen ke kanan ke kiri dan berjuang jatuh bangun sama pendidikannya kalau bagi sebagian besar laki-laki di Indonesia dan "Calon mertua" kriteria utama istri ideal adalah "Hanya" yang pintar memasak dan yang bagus agamanya.
Sayang seribu sayang kalau perempuan yang sudah susah payah sekolah tinggi-tinggi tapi masih di diskriminasi oleh wejangan "Nyari istri mah yang penting pinter masak, udah itu aja cukup". Sebagian orang Indonesia masih punya pemikiran yang menurut gue mundur kebelakang, banget, yang menganggap bahwa pendidikan seorang perempuan tidaklah penting, yang penting kamu bisa masak, udah, selesai. Menikahlah.
Mungkin beberapa dari kalian akan menyimpulkan dengan cara berbeda, gue memaklumi itu karena kita punay sudut pandang yang berbeda, tapi yang perlu sekali dicatat, gue engga mengkesampingkan perempuan yang pintar memasak dan yang bagus agamanya, dua hal ini jelas penting sekali, engga mungkin suami dan anak di masa depan selalu dibiarin jajan di luar, engga mungkin juga anak engga tahu apa itu Tuhan dan apa itu agama.
But, come on guys, anak-anak lo nanti juga perlu tahu kalau Bali itu sebuah pulau bukan kota , siapa Presiden pertama Indonesia? Apa itu teori Darwin dan banyak lagi hal lainnya. Sebenarnya besar harapan gue bahwa kita-kita ini, perempuan-perempua muda Indonesia yang kerjaannya tiap hari masih bolak-balik sekolah/kuliah bisa terus semangat buat nuntut ilmu, buat memilih untuk engga berhenti nyari pengetahuan-pengetahuan baru yang bertebaran dimana-mana. Hehehe.
"Jangan cuma kasih makan perutnya, kasih makan juga otaknya"